Humas(02/12) | Sesuai dengan Amanah Pasal 27 UUD NKRI 1945 bahwa Negara menjamin tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Nilai tersebut dikejawantahkan dalam konsideran UU No. 24/ 2007 tentang Penaggulangan Bencana bahwa Negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan pelindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk pelindungan atas bencana, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila. Hal ini menjadi problematika hukum tentunya pasca terjadinya gempa sekitar 1 tahun yang lalu di Kota Palu. Salah satu problematika hukum yang paling mengedepan adalah problematika hukum agraria dan hukum lingkungan, khususnya hubungan hukum dan status kepemilikan tanah setelah terjadinya gempa dan likuifaksi. Saat ini, BMKG melakukan pemetaan daerah pasca gempa dan likuifaksi tersebut menjadi zona hijau dan zona merah yang mana zona merah ini tidak dapat lagi dijadikan sebagai tempat tinggal. Lebih lanjut, tentunya memerlukan mekanisme penyelesaian yang terbaik antara pemerintah dengan masyarakat yang terdampak bencana.
Fakultas Hukum Universitas Tadulako merespon problematika hukum tersebut melalui Seminar Nasional dengan tema “Perlindungan Hukum dalam Manajemen Bencana Alam di Indonesia” yang diselenggarakan pada tanggal 30 November 2019, dengan mengundang keynote speakers sebagai berikut:

- Prof. Dr. Sri Hajati, S.H., M.S. (Guru Besar FH UNAIR)
- Prof. Juajir Sumardi, S.H., M.H. (Guru Besar FH Universitas Hasanuddin)
- Dr. Wahyu Yun Santoso, S.H., M.Hum., LL.M. (Pakar Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada)
- Trimalaningrum (Ketua Ekspedisi Palu – Koro, Perkumpulan Skala)
- Dr. Sulabadana, S.H., M.H. (Dekan Fakultas Hukum Universitas Tadulako)

Di dalam keynote-nya, beliau menyampaikan 2 (dua) alternatif penyelesaian sengketa pasca gempa dan likuifaksi. Pertama, melalui penataan ulang permukiman dengan beberapa kategori, a) secara fisik tanah ada namun tidak memiliki tanda batas pada persil bidang tanah; b) tanah secara fisik ada namun tanda bukti hak hilang; c) tanah secara fisik ada, namun pemilik hak hilang (meninggal dunia) setelah gempa/ likuifaksi terjadi; dan d) tanah setelah gempa dan likuifaksi tidak jelas lagi batas tanah yang ada. Kategorisasi tersebut tentunya tetap dilakukan dengan mendasarkan pada subyek hukum dengan obyek hak. Kedua, yakni melalui konsolidasi tanah melalui kebijakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan ruang sesuai rencana tata ruang serta usaha penyediaan tanah untuk kepentingan umum dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat dengan mengacu pada pedoman yang diatur Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 12 Tahun 2019 tentang Konsolidasi Tanah.